Minggu, 17 Agustus 2008

DAVI DAN MAMAHNYA


Davi dengan mamanya, Nany Maharani Khrisnayanti.

DAVI Vs EYANG PUTRI


Biar masih berusia 2 tahun, namun Davi sudah sekolah di Pendidikan Usia Dini (PAUD) Dumai Indah. Karena ibunya juga bekerja sebagai wartawati di Koran Pendidikan Dimensi, maka eyang putrinyalah yang momong, kalau ibunya pas hunting berita.

Davi memang cukup aktif, apalagi kalau di rumah eyangnya di Kelun, Kelurahan Kartoharjo, Kota Madiun, temannya banyak. Jadi ia pasti berlarian kesana kemari ikut teman-temannya yang rata-rata sudah lebih besar. Tentu saja eyang putrinya sambat capek. Tapi aku tahu, eyangnya sangat menyayangi cucu-cucunya, termasuk Davi, Ana dan Ani.

Berlarian kesana kemari, membuat Davi sehat dan jadi anak periang, lantaran bisa berkomunikasi aktif dengan teman-teman sebayanya. Aku selalu membiarkan dia bergaul dengan teman-temannya. Sebab aku tahu, secara psikologis anak akan lebih baik bergaul dengan teman sebaya ketimbang dengan yang tua-tua.

Sabtu, 16 Agustus 2008

LAHIRLAH SI KEMBAR


Anakku perempuan Nany memang menikah mendahului kakaknya. Tapi setahun kemudian, Oktavian Ari Wibowo (Arik) menikah. Lagi-lagi, anakkua dapat jodoh orang Madiun, namanya Irawati, yang tinggal di Kelurahan Kelun, Kota Madiun.

Dan akhirnya buah cinta mereka pun melahirkan anak pertamanya, kebetulan kembar, cewek lagi. Cucu kembarku itu dinamai Delfiana Ariyanti Putri dan Delfiani Ariyanti Putri. Panggilannya, Ana dan Ani.

Saat lahir, aku tidak berani menggendongnya. maklum, bayi itu kecil sekali. Tapi sekarang, setelah dipitoni (tujuh bulanan), Ana dan Ani tumbuh dengan baik. Selain gemuk, sehat, juga menggemaskan. Mereka sekarang bisa berceloteh.

Ketika cucu-cucuku masih dalam kandungan, baik ibunya Davi maupun ibunya Ana dan Ani saya paksa untuk minum Prenagen. Ini bukan promosi, memang berkat Prenagen itulah cucu-cucuku tumbuh sehat.

Ana dan Ani lucunya bukan main, eyang putrinya selalu kangen kepada cucu-cucunya, yang kebetulan tinggal di Madiun. Karena itulah, aku akhirnya kembali ke Madiun untuk mendekati anak cucu. Koranku Dimensi pun tak boyong ke Madiun, meski di Malang sebenarnya juga mulai jalan.

Jadi sekarang ini, Eyang Kakung maupun Eyang Putri, bisa kapan saja melihat cucunya. Apalagi si kembar tinggal tak jauh dari rumah kontrakanku. Lebih-lebih Davi, karena sudah besar, hampir setiap hari diajak ibunya ke eyangnya.

Hidup ini memang tak terasa. Rasanya, tiba-tiba saja aku sudah punya dua cucu.

CUCUKU PERTAMA LAHIR



Sebelum kuteruskan  ceritaku tentang aktivitasku sebagai seorang wartawan, aku ingin berbagi cerita tentang cucuku, yang pertama lahir. Kenapa aku pakai istilah yang pertama lahir? Karena cucuku pertama justru lahir dari anakku yang kedua. Ia wanita, namanya Nany Maharani Khrisnayanti.

Cucuku namanya Davi Pratama Putra, lahir 19 Juni 2006. Jadi ketika kutulis kisah ini, ia sudah berusia 2 tahun. Bandel, danpinter, itulah cucuku. Bandel, mungkin sifat itu turun dari ibunya, yang bener-bener bandel.

Ceritanya begini. Nany, waktu itu bekerja juga sebagai seorang wartawan, seperti juga aku. Begitu lulus dari Jurusan Komunikasi, FISIP Universitas Merdeka Malang, ia pun bergabung di JawaPos Radar Malang. Sebab, keluargaku waktu itu memang tinggal di Malang, sambil menunggu anak-anak kuliah.  KakakNany, Oktavian Ari Wibowo, Kuliah di SekolahTinggi Informatikan dan Komputer  (STIKI) Malang.

Nah, setelah Nany menikah denganWahyu Ardiantoro, pacarnya sejak zaman masih SMA di Madiun dulu, ia juga masih bekerjadi Radar Malang. Meski Nany dalam keadaan hamil, ia tak pernah mau berhenti berburu berita. Meski aku tahu, dari kualitas tulisan masih kalah jauh dibanding ayahnya, hehehehe..... tapi untuk urusan kegigihan dan totalitas, aku akui bahwa ia masih setingkat diatasku.

Sebab, ketika usia kehamilannya sudah 9 bulan, ia tetap saja bekerja tanpa mengenal waktu. Padahal sudah saya ingatkan, agar cuti saja. Tapi dia menolak. Jadinya tiap hari Nany masih hunting berita sendiri, naik motor kemana-mana sendiri. Padahal perutnya sudah besar kayak gitu. Sebenarnya, sebagai orang tua aku ngeri melihatnya. Saya gak bisa bayangkan andaikata tiba-tiba saja ia melahirkan di jalan, lak malah bikin susah orang.

Tapi aku bersyukur, hal itu tak terjadi. Meski jujur aku sempat ketar-ketir, saat usia kehamilanya menjelang lahir tinggal hitungan hari, ia masih juga berburu berita. Sehari sebelum Davi lahir, ibunya masih berburu berita. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.

Sebelum Davi lahir, aku sempat menunggui Nany di rumah bidan di mana ia akan melahirkan. Aku ingat, bidannya baik sekali, namanya Bu Pras, tinggal di kawasan Joyo Grand Malang. Akutak  tega melihat ia kesakitan. Tanganku dicengkeram keras-keras. Kebetulan waktu itu bersamaan dengan ibunya dapat pesanan katering yang jumlahnya cukup banyak, sehingga aku dan istriku gantian menunggu. Ketika istriku malam itu datang, aku pulang untuk 'mengolah ayam. Sebab, kami tak punya pembantu, jadi kalau dapat pesanan begitu, ya aku dan istriku yang ngerjain sendiri.

Saat masih belepotan ayam itulah, telepon di rumah berdering. Wahyu, suami Nany mengabarkan kalau Nany telah melahirkan dengan selamat. Mau tahu, bobot bayinya 4 kg, lahir normal, tanpa melalui operasi. Aku ambil nafas dalam-dalam, tak terasa, di sudut mata ini ada setitik air bergulir.  Tuhan, terima kasih, telah Kau beri kami kebahagiaan.

Kamis, 14 Agustus 2008

BERITA BANYAK HONORNYA DIKIT

Hanya dengan modal block note, ballpoint, dan topi Barreta yang selalu nangkring di kepalaku, pagi-pagi sekali aku sudah ''berburu'' berita. Maklum, sebagai wartawan koran harian, apalagi honorku dihitung dari banyak sedikitnya berita yang termuat, maka tak ada pilihan lain kecuali setiap hari harus mendapat berita sebanyak-banyaknya. Berita banyak saja honornya dikit, apalagi berita dikit, mana mungkin bisa dapat honor banyak.

Tapi bagiku, ini adalah profesi pilihan yang harus aku pertanggungjawabkan. Sehingga, setiap pagi, tugas rutinku nyambangi Humas Pemkot Madiun yang waktu itu kepalanya dijabat oleh Pak Sunarso. Soalnya jarak dari rumahku di Jalan Sawo dan Kantor Pemkot di Jalan Pahlawan, tidaklah terlalu jauh. Jadi aku bisa jalan kaki.

Untungnya aku pernah kuliah di Akademi Wartawan Surabaya, sehingga aku bisa mengambil berita yang biasa dari
angle yang menarik, sehingga layak baca dan tentu saja harus layak muat. Sebab kalau tidak layak muat, jelas tidak dapat homor he...he...he.

Saking seringnya aku di Humas, ada temanku wartawan senior waktu itu yang memberi predikat diriku wartawan Humas. Kata dia ''sekali-sekali nulis kasus gitu, jangan berita pemerintahan thok.''

Diledek begitu aku cuma diam saja, dalam hati kecilku '
'bagaimana seorang wartawan tahu kasus pemerintahan kalau nggak pernah datang dan belajar tentang pemerintahan.''  Apalagi sebagai yunior, aku masih perlu banyak belajar. Sebab bekalku waktu itu hanya 5W + 1H saja, yaitu teknis penulisan berita. Padahal, untuk menulis berita berbobot atau berkualitas, saya tahu, seorang wartawan harus belajar segalam macam ilmu. Sebab nara sumber yang harus dihadapi sehari-hari adalah pakar di bidang masing-masing.

Jadi, kalau bertemu dengan kalangan hukum, aku juga harus ngerti hukum, bertemu dengan pakar pemerintahan aku harus ngerti soal pemerintahan. Sehingga, setiap hari harus mempelajari masing-masing disiplin ilmu, baik dari membaca atau bertukar pikiran dengan pakarnya. Sehingga, semakin lama jam terbang seorang wartawan, makin generalis dia.

Nah, begitu sudah cukup menguasai medan, aku akhirnya jadi wartawan yang cukup disegani di Madiun. Sebab, meski kondisi ekonomiku masih lemah gemulai, tapi aku pantang dibeli. Berita-berita permasalahan yanga da di Pemkot Madiun tak lepas dari incaran penaku. Sampai-sampai ada seorang pejabat (setingkat Kabag) yang mau menyogok aku agar berita permasalahan yang ada di kantornya tidak dilanjutkan. Namun aku tolak.

Bahkan ada seorang pejabat Kantor Dinas yang kasusnya aku ungkap hingga ia diadili di Pengadilan. Jarang lho, pejabat zamannya Pak Harto berkuasa sampai masuk Pengadilan. Meski pejabat (wanita) itu tak sampai dihukum, namun namaku sebagai wartawan di Madiun mulai diperhitungkan, meski Jawa Pos saat itu masih kecil dan tidak diperhitungkan sama sekali.

Namaku makin meroket sampai masuk di beberapa surat kabar gara-gara rumahku digerudug oleh aparat (maaf tak perlu saya sebut di sini). Ceritanya begini. Waktu itu ada Pacuan Kuda di Stadion Wilis Madiun, tentu sebagai wartawan aku juga meliput di sana. Dasar wartawan, mata dan telingaku sudah mulai merambah di mana-mana ada, membuat aku mencari sesuatu yang lain dibanding wartawan lainnya.

Di situ aku melihat aparat yang menarik uang kepada mbok-mbok bakul kerupuk sambal, tanpa ada tanda terima. Begitu esok harinya masalah itu muncul di koran, mereka tidak terima. Rumahku pun jadi sasaran, digerudug rame-rame. Untungnya tidak anarkhis, apalagi waktu itu aku diselamatkan oleh rekan dari Humas Pemkot untuk mengamankan diri. Semalam aku sempat tidur di Polres Madiun untuk diamankan.

Akhirnya kasus itu reda, lantaran Wali Kota Madiun waktu itu Drs Marsoedi turun tangan, dan minta maaf secara terbuka kepada wartawan yang tergabung di PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Perwakilan Madiun.




JURNALIS SEJATI 1

Aku tak tahu persis, mengapa akhirnya saya berkutat sebagai seorang jurnalis. Padahal, sebelumnya aku punya kesempatan untuk berkarier sebagai kaki tangan pemerintah alias pegawai negeri. Dan pilihanku sebagai seorang jurnalis, jelas membuat seluruh keluargaku menilai aku termasuk orang yang terbodoh di dunia.

Maklum, waktu itu tahun 1977, yang namanya wartawan masih dianggap bukan pekerjaan. Apalagi aku tinggal di kota kecil, Madiun. Masyarakat di daerah, rata-rata masih menganggap bahwa bekerja sebagai pegawai negeri dicokot-cokot alot, sebab meski gajinya kecil, tapi dapat pensiun sampek matek.

Tapi jiwaku yang suka berpetualang dan menyukai kemerdekaan membuat aku lebih memilih jadi jurnalis. Meski saat itu aku sebagai wartawan pemula yang bekerja di Jawa Pos, yang waktu itu masih jadi koran kelas gurem.

Mengapa tidak mengawali karier di koran besar seperti Kompas, Sinar Harapan atau Surabaya Post yang waktu itu sudah jadi raksasa media? Pertimbangku sederhana saja, di koran kecil itu aku masih punya kesempatan untuk belajar jurnalistik secara baik. Baru kalau kemampuan sudah baik, akan lompat pagar ke media yang lebih besar.

Waktu itu, bekerja di Jawa Pos atau koran kecil lainnya tidak ada gajinya. Penghasilannya dari banyak sedikitnya berita. Makin banyak beritanya, tentu makin banyak jumlah penerimaannya.  Tapi kalau aku tulis ''banyak'' di sini jangan berpikir bahwa waktu itu penghasilan saya besar.

Perbandingannya begini: Wartawan senior di Madiun waktu itu namanya Pak Maryasim. Ia bekerja sebagai wartawan Surabaya Post yang waktu itu cukup disegani. Tapi Pak Maryasim, beritanya kecil-kecil, paling besar 2 alinia. Sedang beritaku besar-besar dan aktual. Tapi saat sama-sama ambil kiriman di Kantor Pos, baru tahu perbedaannya. Waktu itu Pak Maryasim terima Rp 150.000 sedang aku cuma Rp 11.000 saja.

Itu pun belum tentu tepat tanggal pengirimannya, seringkali molor gak jelas tanggal berapa terima honor. Dan nilais etiap berita juga dilihat dari panjang pendeknya berita yang diturunkan di halaman koran. Nany Widjaja (sekarang jadi salah satu direktur Jawa Pos), waktu itu jadi tukang ukur berita di kantornya Jalan Kembang Jepun 167 Surabaya.

Dengan kondisi seperti itu, aku sering kesulitan kalau mau kirim berita ke Surabaya. Sebab, berita yang aku dapat hari itu harus dikirim via kilat khusus di Kantor Pos. Waktu itu boleh dibilang masih zaman batunya jurnalis, lantaran belum ada faks apalagi komputer. Semua berita diketik dan dikirim lewat pos.

Aku juga termasuk wartawan yang paling melarat di dunia waktu itu. Bayangkan saja, sepeda saja gak punya apalagi sepeda motor. Kamera juga gak punya. Jadi kemana-mana jalan kaki, atau naik angkutan umum yang notabene saat itu masih jarang. Kalau ada peristiwa yang hangat dan memerlukan foto, maka aku panggil saja tukang foto di dekat tempat kejadian, tak suruh motret tapi aku sutradarai, ambil angle darimana agar bukan kayak foto salon, tapi bener-bener photo jurnalism.

Dapat berita, aku ketik di rumahku di Jalan Sawo 18 Madiun. Mesin ketik pun bukan punya pribadi, tapi milik SD Kartika Madiun. Maklum, waktu itu istriku Herry Siswati bekerja sebagai TU di SD milik tentara itu.

Kalau berita sudah kelar, masih mikir lagi, dengan duit mana untuk ongkos kirimnya. Sehingga ada istilah ''jual celana beli prangko''. Bahkan jaket almamaterku dari Akademi Wartawan Surabaya pun amblas dibawa tukang loak, gara-gara harus mengirim berita.

Apalagi waktu aku sudah punya anak 1, Oktavian Ari Wibowo. Jadi penghasilan yang ada, ya untuk makan, ya untuk beli sabun, ya untuk nambah gizi anak dan sebagainya. Jadi jangan dilihat sekarang lemu ginuk-ginuk, dulu aku, istri dan anakku kering kerontang.

Sebuah awal dari perjuangan yang panjang dan melelahkan.