Kamis, 14 Agustus 2008

BERITA BANYAK HONORNYA DIKIT

Hanya dengan modal block note, ballpoint, dan topi Barreta yang selalu nangkring di kepalaku, pagi-pagi sekali aku sudah ''berburu'' berita. Maklum, sebagai wartawan koran harian, apalagi honorku dihitung dari banyak sedikitnya berita yang termuat, maka tak ada pilihan lain kecuali setiap hari harus mendapat berita sebanyak-banyaknya. Berita banyak saja honornya dikit, apalagi berita dikit, mana mungkin bisa dapat honor banyak.

Tapi bagiku, ini adalah profesi pilihan yang harus aku pertanggungjawabkan. Sehingga, setiap pagi, tugas rutinku nyambangi Humas Pemkot Madiun yang waktu itu kepalanya dijabat oleh Pak Sunarso. Soalnya jarak dari rumahku di Jalan Sawo dan Kantor Pemkot di Jalan Pahlawan, tidaklah terlalu jauh. Jadi aku bisa jalan kaki.

Untungnya aku pernah kuliah di Akademi Wartawan Surabaya, sehingga aku bisa mengambil berita yang biasa dari
angle yang menarik, sehingga layak baca dan tentu saja harus layak muat. Sebab kalau tidak layak muat, jelas tidak dapat homor he...he...he.

Saking seringnya aku di Humas, ada temanku wartawan senior waktu itu yang memberi predikat diriku wartawan Humas. Kata dia ''sekali-sekali nulis kasus gitu, jangan berita pemerintahan thok.''

Diledek begitu aku cuma diam saja, dalam hati kecilku '
'bagaimana seorang wartawan tahu kasus pemerintahan kalau nggak pernah datang dan belajar tentang pemerintahan.''  Apalagi sebagai yunior, aku masih perlu banyak belajar. Sebab bekalku waktu itu hanya 5W + 1H saja, yaitu teknis penulisan berita. Padahal, untuk menulis berita berbobot atau berkualitas, saya tahu, seorang wartawan harus belajar segalam macam ilmu. Sebab nara sumber yang harus dihadapi sehari-hari adalah pakar di bidang masing-masing.

Jadi, kalau bertemu dengan kalangan hukum, aku juga harus ngerti hukum, bertemu dengan pakar pemerintahan aku harus ngerti soal pemerintahan. Sehingga, setiap hari harus mempelajari masing-masing disiplin ilmu, baik dari membaca atau bertukar pikiran dengan pakarnya. Sehingga, semakin lama jam terbang seorang wartawan, makin generalis dia.

Nah, begitu sudah cukup menguasai medan, aku akhirnya jadi wartawan yang cukup disegani di Madiun. Sebab, meski kondisi ekonomiku masih lemah gemulai, tapi aku pantang dibeli. Berita-berita permasalahan yanga da di Pemkot Madiun tak lepas dari incaran penaku. Sampai-sampai ada seorang pejabat (setingkat Kabag) yang mau menyogok aku agar berita permasalahan yang ada di kantornya tidak dilanjutkan. Namun aku tolak.

Bahkan ada seorang pejabat Kantor Dinas yang kasusnya aku ungkap hingga ia diadili di Pengadilan. Jarang lho, pejabat zamannya Pak Harto berkuasa sampai masuk Pengadilan. Meski pejabat (wanita) itu tak sampai dihukum, namun namaku sebagai wartawan di Madiun mulai diperhitungkan, meski Jawa Pos saat itu masih kecil dan tidak diperhitungkan sama sekali.

Namaku makin meroket sampai masuk di beberapa surat kabar gara-gara rumahku digerudug oleh aparat (maaf tak perlu saya sebut di sini). Ceritanya begini. Waktu itu ada Pacuan Kuda di Stadion Wilis Madiun, tentu sebagai wartawan aku juga meliput di sana. Dasar wartawan, mata dan telingaku sudah mulai merambah di mana-mana ada, membuat aku mencari sesuatu yang lain dibanding wartawan lainnya.

Di situ aku melihat aparat yang menarik uang kepada mbok-mbok bakul kerupuk sambal, tanpa ada tanda terima. Begitu esok harinya masalah itu muncul di koran, mereka tidak terima. Rumahku pun jadi sasaran, digerudug rame-rame. Untungnya tidak anarkhis, apalagi waktu itu aku diselamatkan oleh rekan dari Humas Pemkot untuk mengamankan diri. Semalam aku sempat tidur di Polres Madiun untuk diamankan.

Akhirnya kasus itu reda, lantaran Wali Kota Madiun waktu itu Drs Marsoedi turun tangan, dan minta maaf secara terbuka kepada wartawan yang tergabung di PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Perwakilan Madiun.




Tidak ada komentar: