Kamis, 14 Agustus 2008

JURNALIS SEJATI 1

Aku tak tahu persis, mengapa akhirnya saya berkutat sebagai seorang jurnalis. Padahal, sebelumnya aku punya kesempatan untuk berkarier sebagai kaki tangan pemerintah alias pegawai negeri. Dan pilihanku sebagai seorang jurnalis, jelas membuat seluruh keluargaku menilai aku termasuk orang yang terbodoh di dunia.

Maklum, waktu itu tahun 1977, yang namanya wartawan masih dianggap bukan pekerjaan. Apalagi aku tinggal di kota kecil, Madiun. Masyarakat di daerah, rata-rata masih menganggap bahwa bekerja sebagai pegawai negeri dicokot-cokot alot, sebab meski gajinya kecil, tapi dapat pensiun sampek matek.

Tapi jiwaku yang suka berpetualang dan menyukai kemerdekaan membuat aku lebih memilih jadi jurnalis. Meski saat itu aku sebagai wartawan pemula yang bekerja di Jawa Pos, yang waktu itu masih jadi koran kelas gurem.

Mengapa tidak mengawali karier di koran besar seperti Kompas, Sinar Harapan atau Surabaya Post yang waktu itu sudah jadi raksasa media? Pertimbangku sederhana saja, di koran kecil itu aku masih punya kesempatan untuk belajar jurnalistik secara baik. Baru kalau kemampuan sudah baik, akan lompat pagar ke media yang lebih besar.

Waktu itu, bekerja di Jawa Pos atau koran kecil lainnya tidak ada gajinya. Penghasilannya dari banyak sedikitnya berita. Makin banyak beritanya, tentu makin banyak jumlah penerimaannya.  Tapi kalau aku tulis ''banyak'' di sini jangan berpikir bahwa waktu itu penghasilan saya besar.

Perbandingannya begini: Wartawan senior di Madiun waktu itu namanya Pak Maryasim. Ia bekerja sebagai wartawan Surabaya Post yang waktu itu cukup disegani. Tapi Pak Maryasim, beritanya kecil-kecil, paling besar 2 alinia. Sedang beritaku besar-besar dan aktual. Tapi saat sama-sama ambil kiriman di Kantor Pos, baru tahu perbedaannya. Waktu itu Pak Maryasim terima Rp 150.000 sedang aku cuma Rp 11.000 saja.

Itu pun belum tentu tepat tanggal pengirimannya, seringkali molor gak jelas tanggal berapa terima honor. Dan nilais etiap berita juga dilihat dari panjang pendeknya berita yang diturunkan di halaman koran. Nany Widjaja (sekarang jadi salah satu direktur Jawa Pos), waktu itu jadi tukang ukur berita di kantornya Jalan Kembang Jepun 167 Surabaya.

Dengan kondisi seperti itu, aku sering kesulitan kalau mau kirim berita ke Surabaya. Sebab, berita yang aku dapat hari itu harus dikirim via kilat khusus di Kantor Pos. Waktu itu boleh dibilang masih zaman batunya jurnalis, lantaran belum ada faks apalagi komputer. Semua berita diketik dan dikirim lewat pos.

Aku juga termasuk wartawan yang paling melarat di dunia waktu itu. Bayangkan saja, sepeda saja gak punya apalagi sepeda motor. Kamera juga gak punya. Jadi kemana-mana jalan kaki, atau naik angkutan umum yang notabene saat itu masih jarang. Kalau ada peristiwa yang hangat dan memerlukan foto, maka aku panggil saja tukang foto di dekat tempat kejadian, tak suruh motret tapi aku sutradarai, ambil angle darimana agar bukan kayak foto salon, tapi bener-bener photo jurnalism.

Dapat berita, aku ketik di rumahku di Jalan Sawo 18 Madiun. Mesin ketik pun bukan punya pribadi, tapi milik SD Kartika Madiun. Maklum, waktu itu istriku Herry Siswati bekerja sebagai TU di SD milik tentara itu.

Kalau berita sudah kelar, masih mikir lagi, dengan duit mana untuk ongkos kirimnya. Sehingga ada istilah ''jual celana beli prangko''. Bahkan jaket almamaterku dari Akademi Wartawan Surabaya pun amblas dibawa tukang loak, gara-gara harus mengirim berita.

Apalagi waktu aku sudah punya anak 1, Oktavian Ari Wibowo. Jadi penghasilan yang ada, ya untuk makan, ya untuk beli sabun, ya untuk nambah gizi anak dan sebagainya. Jadi jangan dilihat sekarang lemu ginuk-ginuk, dulu aku, istri dan anakku kering kerontang.

Sebuah awal dari perjuangan yang panjang dan melelahkan.

Tidak ada komentar: